Istihsan; Upaya Mencari Titik Temu Antara Ulama Hanafiyah Dan Ulama Syafi’iyah

ISTIHSAN; UPAYA MENCARI TITIK TEMU ANTARA ULAMA HANAFIYAH DAN ULAMA SYAFI’IYAH[1]

Oleh: Feri Firmansyah[2]

Pendahuluan

Sebagaimana yang telah kita ketahui dan kita yakini, bahwa agama islam itu adalah agama yang sempurna, tidak pernah usang seiring dengan lajunya zaman. Sebagai agama yang sempurna, tentu saja setiap permasalahan yang muncul harus dapat diselesaikan dengan baik dan benar. Terlebih permasalahan yang muncul itu tidak terdapat dalam teks Al-Quran dan hadits Rasulullah Saw.

Ketika Rasulullah Saw masih hidup, segala permasalahan yang ada langsung dikonsultasikan kepada beliau. Baik permasalahan tersebut adalah masalah-masalah fikih maupun masalah-masalah lainnya diluar fikih. Sehingga sepelik apapun permasalah tersebut, melalui wahyu yang beliau terima, semua permasalahan dapat terselesaikan, tanpa adanya perbedaan pendapat antara Rasulullah Saw dan para sahabat.

Setelah Rasulullah Saw wafat, ternyata permasalahan yang menyangkut agama terus bermunculan. Terlebih permasalahan fikih, yang tidak hanya permasalah klasik, tetapi permasalah baru pun muncul, yang tentu saja membutuhkan penyelesaian (baca: ijtihad) dari para ulama. Apalagi permasalahan tersebut tidak terdapat dalam teks Al-Quran dan hadits Rasulullah Saw. Dari sinilah muncul cara baru yang bisa dijadikan dalil dalam pengambilan keputusan suatu hukum. Pada masa ini pengambilan hukum tidak hanya berdasarkan teks Al-Quran dan Hadits saja, tetapai ada cara baru yaitu melalaui konsensus para ulama, kemudian ada qaul shabi, dan qiyas.

Pada kurun berikutnya, ternyata permasalahan-permasalahan baru pun terus bermunculan, dan perlu mendapat penyelesaian dari para ulama. Maka berkembanglah tata cara baru dalam pengambilan suatu hukum. Dan tata cara baru itu dikodifikasikan sehingga menjadi sebuah cabang ilmu yaitu ushul fikih. Tentu saja cara-cara tadi bukan berdasarkan nafsu dan keinginan seorang mujtahid belaka, tetapi tetap berdasarkan kepada dalil-dalil dari Al-Quran dan hadits. Hanya saja dalam pemahamannya yang tidak tekstual.

Dalam ilmu ushul fikih, banyak sekali kaidah-kaidah yang dibuat oleh para ulama guna mempermudah bagi kaum muslimin untuk mengambil hukum atas suatu permasalahan yang sifatnya ijtihadi. Namun kaidah-kaidah yang dibuat oleh para ulama tidak selamanya disepakati oleh ulama lainnya. Hal itu disebabkan oleh perbedaan pandangan dan cara pengambilan suatu hukum diantara mereka. Sehingga dikenalah dalil-dalil yang disepakati oleh para ulama dalam pengambilan hukum (Al-Adillah Al-Muttafaq ‘Alaih) dan dalil-dalil yang masih diperdebatkan keabsahannya dalam pengambilan hukum (Al-Adillah Al-Mukhtalaf Fîha).

Dalam coretan yang sangat sederhana ini, penulis hanya akan membahas salah satu dari sekian banyak dalil yang masih diperdebatkan oleh para ulama. Dalil tersebut adalah istihsan. Penulis hanya akan menitik beratkan kepada perbedaan pandangan antara ulama madzhab Hanafi dan ulama madzhab Syafi. Karena kedua madzhab inilah yang paling santer memperdebatkan keabsahan istihsan untuk dijadikan sumber pengambilan hukum.

Definisi Istihsan

definisi istihsan secara etimologi adalah menganggap baik terhadap sesuatu, meskipun sesuatu itu menurut orang lain tidak baik.

Sedangkan istihsan secara terminologi, para ulama cukup beragam.[3] Imam Al-Bazdawi memberikan definisi, istihsan adalah pemindahan qiyas pertama kepada qiyas lain yang lebih kuat. Atau istihsan adalah membatasi qiyas dengan dalil yang lebih kuat.

Al-Faqih Al-Hawani Al-Hanafi memberikan definisi, istihsan adalah meninggalkan qiyas karena ada dalil dari Al-Quran, Sunnah dan ijma’ yang lebih kuat.

Imam Al-Kurkhi memberikan definisi, istihsan adalah seseorang yang meninggalkan suatu hukum yang telah ditetapkan berdasarkan dalil syara, dengan menetapkan hukum lain dari peristiwa itu juga.

Ibn ‘Arabi memberikan definisi, istihsan adalah meninggalkan suatu dalil dengan cara pengecualian dan memberi keringanan pada suatu masalah yang sudah ditentukan hukumnya.

Sebagian para ulama Hambali memberikan definisi istihsan adalah meninggalkan hukum atas suatu peristiwa yang telah ditetapkan berdasarkan dalil syara’, karena adanya dalil lain yang lebih khusus.

Meskipun definisi diatas cukup beragam, namun ada kesamaan-kesamaan yang dapat kita tarik benang merahnya, yaitu bahwa istihsan adalah meninggalkan suatu hukum yang telah ditetapkan oleh syara’ dan menetapkan hukum lain karena ada dalil yang lebih cocok dan lebih kuat menurut jiwa orang yang melakukan ijtihad. Baik dengan cara meninggalkan qiyas jalli dan mengambil qiyas khafi sebagai sandaran hukum, atau menetapkan suatu hukum dengan cara mengambil permasalahan yang sifatnya juz-i dari

permasalahan yang sifatnya kulli.[4] Oleh karena itu jelaslah bahwa istihsan tetap dibangun berdasarkan dalil-dalil yang kuat, bukan berdasarkan hawa nafsu belaka.

Hakikat Istihsan

Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai keabsahan istihsan sebagai dalil pokok dalam pengambilan hukum. Diantara ulama yang paling santer dalam membela dan mengamalkan istihsan sebagai hujjah adalah ulama madzhab Hanafi. Ditambah sebagian ulama-ulama lainnya dari madzhab Maliki dan Hambali. Hanya saja, ulama madzhab Syafi’i memiliki pandangan yang berbeda dalam memposisikan istihsan sebagai dalil pokok dalam pengambilan hukum.

Sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara pandangan ulama yang membela dan mendukung istihsan dengan ulama yang menentang istihsan. Mereka tidak berselisih dalam penggunaan lafadz istihsan, karena kata yang mengandung makna hasan (baik) itu terdapat dalam teks Al-Quran dan hadits. Allah Swt berfirman,

فبشر عباد (17) الذبن يستمعون القول فيتبعون أحسنة (الزمر: 17-18)

Artinya: sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. (Az-Zumar: 17-18).

Selain itu juga, Rasulullah Saw bersabda,

ما راّه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن (رواه أحمد)

Artinya: Sesuatu yang dipandang oleh kaum muslimin itu baik, maka menurut Allah pun adalah baik. (HR. Ahmad).

Dari sini, ulama madzhab hanafi tetap berpegang kepada istihsan. Toh, mereka menggunakannya pun tetap berdasarkan kepada dalil-dalil yang kuat. Bukan kepada hawa nafsu sebagaimana yang dituduhkan para ulama yang menentang istihsan. Mereka berpendapat dalam posisi istihsan ini, melakukan istihsan lebih utama dari pada melakukan qiyas, pun pengambilan dalil yang lebih kuat diutamakan dari dalil yang lemah. Pada dasarnya dalam praktek istihsan ini, tidak mesti ada dalil yang bertentangan, tetapi istihsan itu cukup dilakukan ketika ada dalil yang lebih kuat, sekaligus menggugurkan dalil yang lemah. Atau istihsan itu dilakukan dengan cara meninggalkan qiyas karena ada dalil-dalil lain yang lebih kuat yang diambil dari teks Al-Quran, hadits, ijma’, adanya darurat, atau dari qiyas khafi

Macam-macam istihsan

dalam bukunya yang berjudul Al-Wajîz fî Ushûl Fiqh, DR. Abdul Karim Zaidan membagi istihsan kepada dua segi.[5] Pertama, istihsan dipandang dari segi pemindahan hukumnya. Dan yang kedua, istihsan dipandang dari sandaran dalilnya.

Adapun istihsan dari segi pemindahan hukumnya, terbagi kepada dua macam yaitu sebagai berikut,

  1. Istihsan dengan cara pemindahan hukum kulli kepada hukum juzi. Contohnya, dalam hukum syara’ seseorang tidak boleh melakukan transaksi jual beli dengan barang yang belum ada ketika dilangsungkannya akad jual beli. aturan ini berlaku untuk seluruh jenis transaksi jual beli. karena jual beli tanpa adanya barang ketika akad berlangsung maka akad tersebut menjadi rusak. inilah yang disebut dengan hukum kulli.

Kemudian, syari’at memberikan keringanan dan pengecualian kepada pembelian barang dengan uang tunai tapi barangnya dikirim kemudian dengan waktu dan jenis barang yang telah ditentukan (jual-beli salam). Jual beli ini dilakukan karena telah menjadi kebiasaan di masyarakat, juga jual beli ini untuk mempermudah bagi para penjual yang tidak memiliki modal. pengecualian atau keringanan ini dinamakan dengan pemindahan hukum kulli kepada hukum juzi. Mengenai jual beli salam ini rasulullah Saw bersabda,

من أسلف فى شيئ فليسلف فى كيل معلوم ووزن معلوم و إلى أجل معلوم. (رواه البخارى)

Artinya: barangsiapa yang meminjamkan sesuatu, hendaknya ia meminjamkan dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas dan dalam tempo yang jelas. (HR. Bukhari).

  1. Istihsan dengan cara pemindahan dari qiyas jalli kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu. Contohnya, menurut madzhab hanafi, sisa minum burung buas seperti burung elang dan gagak adalah suci dan halal diminum. Penghalalan ini ditetapkan berdasarkan istihsan. Menurut qiyas jalli, meminum sisa minuman binatang buas seperti anjing dan burung buas adalah haram, karena binatang tersebut langsung minum dengan lisannya yang diqiyaskan kepada dagingnya. Menurut istihsan, berbeda antara mulut binatang buas dengan burung buas tadi. Kalau binatang buas langsung minum dengan mulutnya, sedangkan burung buas minum melalui paruhnya yang bukan merupakan najis. Karena itu mulut burung buas tadi tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan. Dari perbedaan antara binatang buas dan burung buas tadi, maka ditetapkanlah perpindahan qiyas jalli kepada qiyas khafi.

Sedangkan istihsan dipandang dari segi sandaran dalilnya, istihsan dibagi menjadi beberapa macam, yaitu

  1. Istihsan yang disandarkan kepada teks Al-Quran atau hadits yang lebih kuat. Seperti jual beli salam yang telah penulis bahas di atas.
  2. Istihsan yang disandarkan kepada ijma’. Contohnya, bolehnya mengambil upah dari orang yang masuk WC. Secara kaidah umum, tidak boleh seseorang mengambil upah tersebut, karena tidak bisa diketahui dan dipastikan berapa lama si pengguna berada didalam WC, juga tidak bisa diketahui seberapa banyak dia menggunakan air didalm WC. tetapi berdasarkan istihsan, diperbolehkan si petugas mengambil upah dari pengguna WC tersebut, karena sudah membantu menghilangkan kesulitan orang tersebut, juga sudah menjadi kebiasaan dan tidak ada penolakan dari seorang pun sehingga menjadi ijma.
  3. Istihsan yang disandarkan kepada adat kebiasaan (‘Urf). Seperti pendapat sebagian ulama yang membolehkan wakaf dengan barang-barang yang bergerak, seperti mewakafkan buku, mobil dan barang-barang lainnya. Menurut kaidah umum, wakaf itu harus pada barang-barang yang tidak bergerak, seperti tanah, atau bangunan. Kemudian ulama membolehkan wakaf dengan barang-barang yang bergerak tadi karena sudah menjadi adat (‘urf) di lingkungan tersebut.
  4. Istihsan yang disandarkan kepada urusan yang sangat darurat. Seperti, membersihkan sumur yang terkena najis, hanya dengan mengambil sebagian air dari sumur itu. Menurut qiyas, air sumur tersebut tidak bisa dibersihkan lagi, karena alat untuk membersihkan air itu sudah kena najis, dan tidak mungkin dibersihkan. Tetapi menurut istihsan, air itu bersih lagi hanya dengan mengeluarkan sebagian airnya saja. Karena mengeluarkan sebagian air itu tidak mempengaruhi kesucian sisanya. Inilah yang dinamakan dengan darurat, yang bertujuan untuk memudahkan urusan manusia. Selain itu juga dalam ayat Al-Quran sudah disebutkan bahwa agama itu bukan untuk menyusahkan manusia. Allah Swt berfiman,

وما جعل عليكم فى الدين من حرج (الحج : 78)

Artinya: Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Al-Haj: 78)

  1. Istihsan yang disandarkan kepada kemaslahatan.
  2. Istihsan yang disandar kepada qiyas khafi. Seperti bolehnya minum air sisa minum burung buas seperti elang dan gagak.

Pandangan Ulama Syafi’iyah Terhadap Istihsan

Imam Syafi’i beserta pengikutnya memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan. Mereka menolak dan mengkritik habis orang-orang yang menggunakan istihsan sebagai dalil pokok dalam pengambilan hkum setelah empat dalil pokok yang telah disepakati yaitu Al-Quran, hadits, ijma’, dan qiyas. Bahkan mengenai istihsan ini, imam Syafi’i berkata,

مَنِ اسْتََحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ

Artinya: “barangsiapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’.

Imam Syafi’i berkeyakian bahwa berhujjah dengan istihsan, berarti di telah mengikuti hawa nafsunya, karena telah menentukan syariat baru. Sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah Swt. Bahkan Al-Qâdhi Al-Baidhâwî, salah seorang pengikut beliau yang menulis buku Minhâj Al-Wushûl ilâ ilmi al-Ushûl menempatkan istihsan pada bab Al-Adillah Al-Mardûdah.[6] Dari sinilah terlihat, bahwa Imam Syafi’I beserta pengikutnya cukup keras dalam menolak masalah istihsan ini.

Dilihat dari paradigma yang dipakai oleh Imam Syafi’i berserta pengikutnya, ternyata berbeda dengan paradigma yang dipakai oleh ulama Hanafiyah. Imam Syafi’i berpegang bahwa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah mengikuti hawa nafsunya. sedangkan istihsan yang dimaksud oleh ulama Hanafiyah adalah berhujjah berdasarkan dalil yang lebih kuat.

Adapun dalil-dalil yang di sodorkan ulama Hanafiyah mengenai istihsan, seperti kutipan ayat Al-Quran dalam surat Az-zumar ayat 18, dan hadits rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ulama Syafi’iyah memiliki pemahaman yang berbeda juga.

Mengenai surat Az-zumar ayat 18 diatas, ulama Syafi’I menjawab bahwa ayat tersebut tidak menunjukan adanya istihsan. Juga tidak menunjukan wajibnya mengikuti perkataan yang paling baik.

Kemudian mengenai kutipan hadits Rasulullah Saw diatas, mereka menjawab bahwa hadits diatas mengisyaratkan adanya ijma’ kaum muslimin. Sedangkan ijma’ itu merupakan hujjah yang bersumber kepada dalil. Jadi hadits tersebut tidak berarti setiap orang yang memandang suatu urusan itu baik, maka baik menurut Allah Swt. Kalau pemahamannya seperti yang dilontarkan ulama Hanafiyah, maka ketika kaum muslimin yang awwam memadang suatu perkara itu baik, maka baik pula menurut Allah Swt. Inilah pemahaman yang seharusnya tidak ada dalam benak kaum muslimin.

Jadi penolakan Syafi’iyah tersebut bukan pada lafadz istihsannya,[7] karena imam Syafi’i pun sering menggunakan kata-kata istihsan. Seperti pada kasus pemberian mut’ah kepada wanita yang di talak. Imam syafi’i berkata aku menganggap baik pemberian nilai mut’ah itu sebanyak 30 dirham. Padahal didalam teks Al-Quran tidak ada penentuan nilai yang harus diberikan. Tetapi beliau melakukan itu sebagai ijtihad beliau atas makna pemberian yang ma’ruf. Jadi, cara seperti ini sebenarnya menurut hanafiyah merupakan cara pengambilan hukum dengan istihsan, tetapi menurut Syafi’i, ini bukan dengan cara istihsan tetapi dengan membatasi sesuatu dengan melihat kondisi waktu itu (takhshîshul illah).

Titik Temu Antara Pandangan Ulama Madzhab Syafi’i Dan Ulama Madzhab Hanafi

Melihat perbedaan-perbedaan pandangan diatas, sepintas kita akan melihat perbedaan yang sangat krusial antara mereka. Tetapi kalau kita lihat kembali latar belakang menjadikan istihsan sebagai dalil dan sebab adanya penolakan dari madzhab Syafi’i, ternyata disana ada persamaan yang secara tidak langsung disepakati oleh kedua madzhab tersebut. yaitu mereka sepakat dengan cara pengambilan hukum harus sesuai dengan dalil yang kuat. Baik itu dengan cara istihsan ataupun dengan cara lainnya. Karena ulama madzhab hanafi pun sepakat, orang yang melakukan istihsan dengan hawa nafsunya atau tanpa ada dalil yang kuat bukan termasuk istihsan yang merupakan dalil pokok dalam pengambilan hukum.

Oleh karena itu, sebenarnya mereka berselisih dalam penamaan istilah saja. Dimana ulama Syafi’i memandang cara-cara yang ada dalam istihsan itu, sudah terwakili oleh dalil-dalil muttafaq alaiha, sedangkan ulama madzhab Hanafi memiliki nama sendiri yaitu istihsan. Tetapi dengan adanya perbedaan ini, kita tidak lantas menyalahkan ulama hanafiyah dalam penamaan istihsan. Karena inti dari bahasan istihsan itu adalah, berhujjah berdasarkan dalil atau tidak. Selain itu juga, rasanya tidak masuk akal kalau seandainya Imam Hanafi yang sudah kita kenal sebagai ulama madzhab bertindak ceroboh dalam menentukan suatu hukum.

Penutup

Dipenghujung tulisan ini, penulis hanya ingin mengutip sebuah hadits rasulullah Saw, yang maknanya adalah barang siapa yang berijtihad, kemudian ijtihadnya itu benar, maka baginya dua pahala. Sedangkan bagi orang yang melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya salah, maka baginya mendapatkan satu pahala. Wallahu’alam bishshawab.

Bahan Bacann

  1. Imam Asy-Syafi’i, Arrisalah
  2. Syamsuddin Muhammad Ibn Yusuf Al-Jazari; Mi’râj Al-Minhâj Syarh Minhâj Al-Wushûl ilâ ‘Ilmi Al-Ushûl. Cet. I, 1997.
  3. Manna’ Al-Qathan; Tarikh Tasyri’ Al-Islami (At-Tasyri’ Wa Al-Fiqh), Muassasah Risalah, cet. 14, 1996
  4. DR. Amir Abdul Aziz; Ushûl Fiqh Al-Islâmî, Darussalam, 1997
  5. DR. Abdul Karim Zaidan; Al-Wajîz Fî Ushûl Fiqh, Muassasah Risalah, 2002


[1] Coretan yang sangat sederhana ini diobrolkan pada kajian mingguan Lembaga Buhust Islamiyah (LBI) Divisi Syariah di rumah Pwk. PP. Persis Mesir, hari sabtu, 25 Novenber 2006, jam 10.00 (itu pun kalau tepat waktu).

[2] Penulis adalah santri Al-Azhar Asy-Syarif, yang sedang menimba ilmu di Fakultas Syariah Wal Qanun jurusan Syariah Islamiyah tingkat III.

[3] Semua definisi diatas dikutip oleh DR. Abdul Karim Zaidan dalam bukunya Al-Wajîz Fî Ushûl Fiqhi, Beirut, 2002, Penerbit Muassasah Risalah, hal. 230.

[4] Lihat DR. Abdul Karim Zaidan, ibid., hal 231

[5] Lihat DR. Abdul Karim Zaidan, ibid., hal 232-234

[6] Lihat Syamsuddin Muhammad Ibn Yusuf Al-Jazari dalam kitabnya Mi’râj Al-Minhâj Syarh Minhâj Al-Wushûl Ila Ilmi Al-Ushûl Li Al-Qâdhî Al-Baidhâwî, cet I, 1993, jilid II, hal. 237.

[7] Ibid., hal. 239

4 comments on “Istihsan; Upaya Mencari Titik Temu Antara Ulama Hanafiyah Dan Ulama Syafi’iyah

  1. Menurut saya, Imam Syafi’ie tahu betul jalan fikiran ulama hanafi, karena beliau belajar langsung dengan Imam muhammad bin Hasan r.a, tokoh utama mazhab Hanafi,sehingga beliau berpendapat demikian, dan diikuti ulama-ulama pendukung beliau.
    sedang definisi Istihsan di atas oleh ulama-ulama Hanafiyah terkemudian dari muhammad bin Hasan, kemungkinan definisi tersebut disesuaikan setelah adanya kritik dari Imam Syafi’ie.
    Jadi, bukan berarti Imam Syafi’i tidak mengerti Istihsan, tapi berkat kritik Imam Syafi’ie, ulama-ulama Hanafiyah mendefinisi ulang arti istihsan kepada sesuai dengan syariah.
    Demikian tangapan saya

  2. maaf mas, sepengetahuan saya Muhammadiyyah adalah organisasi Islam yang memurnikan Islam dari pemahaman madzahib. Tulisan ini distorsi, hiprokrit atau justru arus balik kedua (kalau meminjam perspektif Nash)

Tinggalkan komentar