Ibn Katsir & Tafsir

Ibn Katsir dan Tafsir;

Mengkaji Sosok Ibn Kasir dan Metode Tafsir[1]

Oleh Pardan S. Sambas[2]

A. Pendahuluan

secara garis besar, para ulama membagi kepada empat jenis tafsir. Pertama, tafsir tahlîlî, kedua, tafsir ijmâlî. Ketiga, tafsir muqârin. Keempat, tafsir mawdlu’î. Husus untuk jenis tafsir yang pertama, ada beberapa macam yang tercakup di dalamnya. Seperti, tafsir bil ma`tsûr, tafsir bi al-ra`yi, tafsir al-shufi, tafsir alfiqh, tafsir al-falsafi, tafsir al-‘ilm, dan al-adabi alijtima’i. Pembagian ini sebagaimana yang dituturkan prof. dr. abdul hay al-farmâwî, dalam bukunya ‘muqadimah fî ‘ilmi al-tafsîr’.

Dari sekian banyak jenis tafsir, tentu berbeda pula metode dalam penafsiran dan penyusunan karyanya. Hamper semua pengarang Tafsir tahlili, banyak dilakukan oleh para mufassir klasik. Begitu juga untuk jenis ke dua dan ketiga. Sementara untuk jenis yang terakhir, metode tafsir ini baru dilakukan sekitar abad 20-an.

Diantara para pengarang tafsir jenis pertama ialah imam al-hafizh ibn katsir al-qursyi al-damsyiqi. Ia adalah seorang mufassir yang menggunakan metode tafsir tahlili bi al-ma`tsur.

Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis mencoba untuk mengetahui lebih jauh mengenai sosok ibn katsir dan metode tafsirnya. Supaya tidak terlalu melebar, penulis mencoba membatasi pembahasan ini dalam beberapa point. Pertama, tentang biografi dan perjalanan hidup beliau dalam mencari ilmu, dengan sedikit menyinggung tentang latar belakang keluarga beliau. Kedua tentang metode tafsirnya. Pembahsan ini mencakup tentang metode yang ia lakukan, referensi serta keistimewaan dalam tafsirnya.

B. Biografi; Selayang Pandang Sosok Ibn Katsir

Nama lengkap Ibn Katsir ialah, Abul Fidâ` ‘Imaduddin Isma’il bin syeh Abi Haffsh Syihabuddin Umar bin Katsir bin Dla`i ibn Katsir bin Zarâ` al-Qursyi al-Damsyiqi.[3] Ia di lahirkan di kampung Mijdal, daerah Bushra sebelah timur kota Damaskus, pada tahun 700 H.[4] Ayahnya berasal dari Bushra, sementara ibunya berasal dari Mijdal. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Hafsh Umar ibn Katsir. Ia adalah ulama yang faqih serta berpengaruh di daerahnya. Ia juga terkenal dengan ahli ceramah. Hal ini sebagaimana di ungkapkan Ibn Katsir dalam kitab tarikhnya (al-Bidâyah wa al-Nihâyah). Ayahnya lahir sekitar tahun 640 H, dan ia wafat pada bulan Jumadil ‘Ula 703 H. di daerah Mijdal, dan dikuburkan di sana.

Ibn Katsir adalah anak yang paling kecil di keluarganya. Hal ini sebagaimana yang ia utarakan; anak yang paling besar di keluarganya laki-laki, yang bernama Isma’il, sedangkan yang paling kecil adalah saya. Kakak laki-laki yang paling besar bernama Ismail dan yang paling kecilpun Ismail.[5]

Sosok ayah memang sangat berpengaruh dalam keluarga. Kebesaran serta tauladan ayahnyalah pribadi Ibn Katsir mampu menandingi kebesaran ayahnya, bahkan melebihi keluasan ilmu ayahnya. Dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, serta senantiasa menjunjung nilai-nilai keilmuan, mampu melahirkan sosok anak saleh dan bersemangat dalam mencari mutiara-mutiara ilmu yang berharga dimanapun. Dengan modal usaha dan kerja keras Ibn Katsir menjadi sosok ulama yang diperhitungkan dalam percaturan keilmuan.

Ibn Katsir mulai sedari kecil mencari ilmu. Semenjak ayahnya wafat -kala itu Ibn Katsir baru berumur tiga tahun-, selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahab yang mendidik dan mengayomi Ibn Katsir kecil. Dan genap usia sebelas tahun, Ia selesai menghafalkan al-Qur`an.

Pada tahun 707 H, Ibn Katsir pindah ke Damaskus. Ia belajar kepada dua Grand Syeh Damaskus, yaitu Syeh Burhanuddin Ibrahim Abdurrahman al-Fazzari (w. 729) -terkenal dengan ibn al-Farkah- tentang fiqh syafi’i. lalu belajar ilmu ushul fiqh ibn Hâjib kepada syeh Kamaluddin bin Qodi Syuhbah. Lalu ia berguru kepada; Isa bin Muth’im, syeh Ahmad bin Abi Thalib al-Muammari (w. 730), Ibn Asakir (w. 723), Ibn Syayrazi, syeh Syamsuddin al-Dzhabi (w. 748), syeh Abu Musa al-Qurafi, Abu al-Fatah al-Dabusi, syeh Ishaq bin al-Amadi (w. 725), syeh Muhamad bin Zurad. Ia juga sempat ber-mulajamah kepada syeh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazi (w. 742), sampai ia mendapatkan pendamping hidupnya. Ia menikah dengan salah seorang putri syeh al-Mazi. Syeh al-Mazi, adalah yang mengarang kitab “Tahdzîbu al-kamâl” dan “Athrâf-u al-kutub-i al-sittah“.

Begitu pula, Ibn Katsir berguru Shahih Muslim kepada syeh Nazmuddin bin al-Asqalani. Selain guru-guru yang telah dipaparkan di atas, masih ada beberapa guru yang mempunyai pengaruh besar terhadap Ibn Katsir; mereka adalah Ibn Taymiyyah. Banyak sekali sikap Ibn Katsir yang terwarnai dengan Ibn Taymiyah, baik itu dalam berfatwa, cara berpikir juga dalam metode karya-karyanya. Dan hanya sedikit sekali fatwa beliau yang berbeda dengan Ibn Taymiyyah.[6](4)

Sementara murid-murid beliaupun tidak sedikit, diantaranya Syihabuddin bin haji. Pengakuan yang jujur lahir dari muridnya, “Ibn Katsir adalah ulama yang mengetahui matan hadits, serta takhrij rijalnya. Ia mengetahui yang shahih dan dla’if”. Guru-guru maupun sahabat beliau mengetahui, bahwa ia bukan saja ulama yang kapabel dalam bidang tafsir, juga hadits dan sejarah. Sejarawan sekaliber al-Dzahabi, tidak ketinggalan memberikan sanjungan kepada Ibn Katsir, “Ibn Katsir adalah seorang mufti, muhaddits, juga ulama yang faqih dan kapabel dalam tafsir”.[7]

Imam Suyuthi (w.911), ulama berkebangsaan Mesir, Ia berkata, “al-Hafizh Ibn Katsir adalah master dalam ilmu hadits, ia mengetahui hukum hadits, illat hadits, serta mata rantai rawinya. Begitu juga dalam al-jarh wa al-ta’dîl.[8] ia telah membuahkan karya yang sangat monumental sekali, dan tidak ada ulama yang mengarang seumpama itu”.[9]

Sosok ulama seperti Ibn Katsir, memang jarang kita temui, ulama yang lintas kemampuan dalam disiplin ilmu. Spesialisasinya tidak hanya satu jenis ilmu saja. Selain itu, ia juga sangat produktif dalam karya, telah banyak karya-karya yang lahir dari tangan dan ketajaman berpikirnya. Di antara karya-karya beliau adalah :

  1. Tafsîr al-Qur`an al-azhîm“. Kitab tafsir ini, sering dijadikan rujukan oleh setiap ulama. Metode analisisnya sangat tajam, yang membuat kekhasan tersendiri dalam tafsir ini. Para ulama mengkategorikan tafsir ini pada tafsir bil-ma`tsûr.
  2. al-Bidâyah wa al-nihâyah“. Buku ini membahas tentang sejarah. Buku ini sering dijadikan rujukan para peneliti sejarah. Sumbernya begitu autentik. Karyanya ini berisikan berbagai tinjauan sejarah. Pertama, pemaparan tentang sejarah dan kisah Nabi-nabi beserta umatnya di masa lalu. Kisah ini ditopang dengan dalil-dalil yang kuat, baik itu dari al-Qur`an maupun al-Sunnah, juga pendapat-pendapat para mufassir, muhaddits dan sejarawan. Kedua, Ia menguraikan secara jelas mengenai bangsa Arab jaman jahiliyah, kemudian bangsa Arab ketika kedatangan Nabi Saw dan perjalanan dakwah Nabi Saw beserta para sahabatnya. Buku ini di akhiri dengan kisah Dazzal, juga ia ungkapkan mengenai tanda-tanda kiamat lainnya.
  3. al-Takmîl fî makrifati al_tsiqât wa al-dlu’afâ` wa- al majâhil”.

buku ini adalah rujukan dalam ilmu hadist serta untuk mengetahui jarh wa ta’dil. karya ini adalah karya gabungan dua karya imam Dzahabi yaitu Tahdzîbu al-kamâl fî asmâ`i al rijâl dan Mîzân al i’tidâl fî naqdi al-rijâl dengan tambahan dalam jarh wa ta’dil.

  1. al-Hadyu wa al-sunan fî ahâdits al-masânid wa al-sunan atau; yang mashur dengan istilah jâmi’ al-masânid. Dalam kitab ini, Ibnu Katsir menggabungkan kitab musnad imam Ahmad (w.241)[10], al-Bajjar (w.291)[11], Abi Ya’la (w.307)[12], Ibn Abi Syaybah (w.297)[13], bersama kitab yang enam. Kemudian Ia menyusunnya dengan bab per bab[14].
  2. al-Sîrah al-nabawiyah.
  3. al-Musnad al-syaykhân (musnad Abu Bakar dan Umar).
  4. Syamâil al-rasûl wa dalâilu nubuwwatihi wa fadlâilihi wa khashâ`isihi (di nukil dari kitab bidâyah wa nihâyah)
  5. Ikhtishar al-sîrah al-nabawiyah. Di ambil dari bidâyah wa nihâyah terkhusus mengenai kisah bangsa Arab jaman jahiliyah dan jaman Islam serta sirah Nabi Saw.
  6. al-Ahâdîts al-tawhîd wa al-rad ‘alâ al-syirk.
  7. syarh Bukhari (tidak selesai)
  8. Takhrîj ahâdîts muktashar ibn al-hâjib.
  9. Takhrîj ahâdîts adillatu al-tanbîh fî fiqh al-syaafi’i.
  10. Muktashar kitab Bayhaqi (al-madkhal ilâ al-sunan)
  11. Ikhtishar ‘ulûmu al-hadîts li ibn al-shalâh.
  12. Kitâb al-simâ’.
  13. Kitâb al-ahkâm (tidak selesai hanya sampai bab haji saja)
  14. Risâlah al-jihâd.
  15. Thabâqât al-syafi’iyyah.
  16. al-Kawâkib al-dirâri (dinukil dari kitab bidâyah wa nihâyah)
  17. al-Ahkâm al-kabîrah.
  18. Manâqib al-syâfi’i.[15]

Genap usia tujuh puluh empat tahun akhirnya ulama ini wafat mengahadap Ilahi-Allâhu yarham– tepatnya pada hari Kamis, 26 Sya’ban 774 H. Ia di kuburkan di pemakaman shufiyah, bab nasr di Damaskus.[16]

C. Metode Ibn Katsir dalam Tafsir

Karakater karya seseorang tidak akan bisa dilepaskan dari kecondongan minat orang tersebut, kira-kira seperti itu jugalah tafsir ibn katsir. Sosok Ibnu Katsir yang condong kepada keabsahan turats telah ikut mewarnai karyanya. Begitu juga hal ini tidak bisa lepas dari kondisi jaman saat itu, perhelatan aliran pemikiran pada abad ke 7/8 H memang sudah kompleks. Artinya telah banyak aliran pemikiran yang telah ikut mewarnai karakter seseorang.

Pemahaman yang orisinil untuk mempertahankan keontetikan Qur`an dan sunnah terus dijaga inilah sebagian pewarnaan Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Selain itu, kelompok-kelompok yang mengagungkan akal secara berlebihan dan thariqah-thariqah shufiyah telah beredar luas kala itu. Islam telah berkembang pesat dan banyak ‘agamawan’ yang masuk ke dalam Islam. Hal ini ikut pula mempengaruhi /mewarnai perkembangan wawasan pemikiran.

Ibnu Katsir yang telah ter-sibghah dengan pola pikir gurunya (Ibn Taymiyah) sangat terwarnai dalam metode karya-karyanya. Sehingga dengan jujur Ia berkata, bahwa metode tafsir yang ia gunakan persis sealur dan sejalur dengan gurunnya Ibnu Taymiyyah.[17] Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa tafsir ibn katsir telah menjadi rujukan kategori tafsir bil-ma’tsur. Yang tentunya hal ini tidak bisa dipisahkan dari metode beliau dalam karyanya.

c.a. Metode yang Ia lakukan dalam tafsir.

Metode yang ia gunakan dalam karyanya adalah sebagai berikut:

  1. Menafsirkan al-Qur`an dengan al-Qur`an. Pendeknya, Ia menjelaskan satu ayat dengan ayat yang lain, karena dalam satu ayat di ungkapkan dengan abstrak (mutlak) maka pada ayat yang lain akan ada pengikatnya (muqayyad). Atau pada suatu ayat bertemakan umum (‘âm) maka pada ayat yang lain di khususkan (khâsh). Ibn Katsir menjadikan rujukan ini berdasarkan sebuah ungkapan, “bahwa cara yang paling baik dalam penafsiran, adalah menafsirkan ayat dengan ayat yang lain”.
  2. Menafsirkan al-Qur`an dengan Sunnah. Banyak sekali firman Allah Swt yang menyuruh untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya (baca, Q.s. 3:32, Q.s. 4;59, dll). Begitu juga banyak hadist-hadits yang memerintahkan hal tersebut. Oleh karena itulah, Ibn Katsir menjadikan Sunnah sebagai referensi kedua dalam penafsirannya. Bahkan dalam hal ini, Ibnu Katsir tidak tanggung-tanggung untuk menafsirkan suatu ayat dengan berpuluh-puluh hadits –bahkan mencapai 50 hadits – kasus ini bisa dilihat ketika menafsirkan surat al-Isrâ.
  3. Tafsir Qur`an dengan perkataan sahabat. Ibnu Katsir berkata, jika kamu tidak mendapati tafsir dari suatu ayat dari al-Qur`an dan Sunnah, maka jadikanlah para sahabat sebagai rujukannya, karena para sahabat adalah orang yang adil dan mereka sangat mengetahui kondisi serta keadaan turunnya wahyu. Ia menjadikan konsep ini berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya atas perkataan Ibn Mas’ud: “demi Allah tidak suatu ayat itu turun kecuali aku tahu bagi siapa ayat itu turun dan di mana turunnya. Dan jika ada seseorang yang lebih mengetahui dariku mengenai kitab Allah, pastilah aku akan mendatanginya“. Juga riwayat yang lain mengenai didoakannya Ibn Abbas oleh Rasululllah saw, “ya Allah fahamkanlah Ibn Abbas dalam agama serta ajarkanlah ta’wil kepadanya“.
  4. Menafsirkan dengan perkataan tabi’in. Cara ini adalah cara yang paling akhir dalam cara menafsirkan al-Qur`an dalam metode bil-ma`tsur. Ibn Katsir merujuk akan metode ini, karena banyak para ulama tafsir yang melakukannya, artinya, banyak ulama tabi’in yg dijadikan rujukan dalam tafsir. Seperti perkataan ibn Ishaq yang telah menukil dari Mujahid, bahwa beliau memperlihatkan mushaf beberapa kali kepada Ibn Abbas, dan ia menyetujuinya. Sufyan al-Tsawri berkata, “jika Mujahid menafsirkan ayat cukuplah ia bagimu”.[18] Selain Mujahid, di antara ulama tabi’in adalah Sa’id bin Jabir, Ikrimah, Atha’ bin Rabah, Hasan al-Bashri, Masruq bin al-Ajdi, Sa’id bin Musayyab, Abu al-‘aliyah, Rabi’ bin Anas, Qatadah, al-Dahhaak bin muzaahim Radliyall^ahu ‘anhum.
  5. Ra’yu atau akal. Pada dasarnya Ibn Katsir sangat tidak berkenan jika dalam referensinya menggunakan akal yang tidak di landasi pijakan keilmuan apapun. Jika ini adanya, ia sangat tidak setuju bahkan mengharamkannya, sekalipun penafsirannya betul. Ibn katsir memperkuat argumennya ini dengan landasan sebuah hadits, “barang siapa yang berbicara dalam al-Qur`an dengan ra’yunya, dan dengan sesuatu yang tidak diketahuinya, maka bersiap-siaplah menempati neraka”. Ini di satu sisi, sementara di sisi lain, ia memperbolehkan penafsiran dengan ra’yu jika di dasari keilmuan. Pendek kata, memenuhi dan mumpuni dalam sarat-sarat yang telah ditentukan.[19]

Sikap Ibn Katsir ini tentunya mempunyai sandaran dan landasan yang ilmiyah hal ini bisa kita cermati ketika Ia memberikan argumennya baik argumen naql ataupun aql. Dalil naql yang Ia gunakan, salah satunya ialah hadis Saw “barang siapa yang ditanya, kemudian ia menyembunyikan “kesaktiannya”, ia akan diberi kedali dari api di akhirat nanti”.[20] Dalil ini, Ia komunikasikan dengan ungkapan Ibn Abbas, “tafsir itu 4 jenis, orang arab yang mengerahui orientasinya karena kearabannya (bahasa), tafsir seseorang yang tidak berdalil karena ketidak tahuannya, tafsir yang hanya diketahui oleh ulama saja dan tafsir yang hanya diketahui oleh allah swt saja”. Sementara dalil logikanya Ia lontarkan, ketika seseorang tidak boleh menafsirkan karena ketidaktahuannya, maka tidak mengapa jika seseorang menafsirkan karena “kesaktiannya”, yang sesuai dengan syara dan dialek bahasa (kafabel dalam bidangnya).[21]

c.b. Israiliyat[22]

Sikap Ibnu Katsir dalam israiliyat sama dengan gurunya Ibn Taymiyyah, akan tetapi dia lebih tegas sikapnya dalam menghadapi masalah ini. Sebagaimana ulama yang lain, Ibn Katsir mengklasifikasikan israiliyat ke dalam tiga jenis. Pertama, riwayat yang shahih dan kita harus meyakininya. Pendeknya, riwayat israiliyat tersebut sesuai (baca: ada) dengan apa yang di ajarkan oleh syari’at Islam. Kedua, riwayat yang bersebrangan dengan Islam, berarti kewajiban untuk ditolak, karena riwayat ini adalah riwayat dusta. Ketiga, riwayat yang tawaquf ditangguhkan. Hal ini menuntut sikap untuk tidak meyakini 100 % dan menolak 100%. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits, “Habarkanlah oleh kamu tentang bani Israil karena hal itu tidak mengapa bagi kamu…“. Dan hadits lain, “janganlah kamu sekalian membenarkan mereka, juga jangan mendustakan mereka”. Untuk point pertama dan kedua ibn katsir sepakat dengan ulama yang lain tapi untuk point ketiga Ibn Katsir kurang sepakat dalam tatanan realitanya. hal ini bisa kita cermati, ketika beliau banyak mengedepankan tentang larangan periwatan israiliyat yang Ia suguhkan dalam metode tafsirnya.[23]

Begitu pula, Ia banyak melontarkan kritik terhadap riwayat israiliyat, karena riwayat ini kurang mempunyai faidah baik itu dalam permasalah keduniaan maupun problematika keagamaan. Berbagai trik Ia gunakan dalam menghadapi riwayat ini. Seperti, tidak menyebutkan riwayat ini atau, kalaupun ia ungkapkan ia sandarkan kepada orang yang mengatakannya. Lalu ia diskusikan dan menjelaskan kelemahan serta sisi kekurangan riwayat ini.[24]

c.c. Referensi tafsirnya

Sungguh suatu pengakuan yang jujur dan penghargaan yang tidak berlebihan kiranya ketika seorang mufassir besar, imam Suyuthi (w.911) berkata mengenai tafsir ibn katsir, “lam yu-laf ‘alâ namthihi mitsluhu“. Setelah diteliti oleh muhaqqiq dalam bidang tafsir dan hadits, tafsir ibnu katsir sangat ilmiah dan kaya dengan referensi yang sulit di dapat. Bahkan sekarang ada beberapa jenis referensi yang sudah tidak ada dan sangat sulit dicari. Betapa karya ini kaya dengan ilmu yang menyimpan mutiara-mutiara berharga, karena Ibn Katsir menjadikan referensi karyanya yang diambil dari berbagai disiplin ilmu, Baik itu tafsir, ilmu tafsir, hadits, ilmu-ilmu hadits, lughah, sejarah, fiqh, ushul fiqh, bahkan geografi. Dari hasil penelitian, tafsir ibn katsir menjadikan rujukannya tidak kurang dari 241 referensi yang terkumpul dari berbagai disiplin ilmu. Dari jumlah itu bisa diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Kutub al-muqaddasah; al-qur`an, at-taurat dan injil.

2. Tafsir dan ilmunya, tidak kurang dari 36 judul buku dari berbagai pengarang.

3. Hadits, syarh hadits dan ilmu-ilmunya terdiri dari 71 judul buku dari berbagai pengarang.

4. Fiqh dan ilmu ushul fiqh yang terhipun dari 32 judul buku.

5. Sejarah tidak kurang dari 25 judul buku.

6. Bahasa dan disiplin ilmunya 4 judul buku.

7. Kategori berbagai disiplin ilmu terdiri dari 44 judul buku.

8. Kategori karya umum: 7 judul buku.

9. Naql langsung dari guru-guru ibn katsir.

10. Kategori umum yang tidak bisa dilacak kurang lebih 13 jenis.[25]

c. d. Keistimewaan karya tafsir ibn katsir

Keistimewaan tafsir ibn katsir ini bisa kita abtrasiakn ke dalam beberap point; pertama, nilai (isi) tafsir tersebut tidak hanya tafsir atsari saja (bilma’tsur), yang menghimpun riwayat serta khabar. Tapi beliau juga menghimpun referensi yang lain. Kedua, menghimpun ayat-ayat yang serupa dengan menjelaskan rahasia yang dalam dengan keserasiannya, keselarasan lafadnya, kesimetrisan uslubnya serta keagungan maknanya. Ketiga, menghimpun hadits dan khabar baik itu perkataan sahabat dan tabi’in. Dengan menjelaskan derajat hadits atau riwayat tersebut dari shahih dan dla’if, dengan mengemukakan sanad serta mata rantai rawi dan matannya atas dasar ilmu jarh wa ta’dîl. Pada kebiasaannya dia rajihkan aqwal yang shahih dan menda’ifkan riwayat yang lain. Keempat, keterkaitan tafsir ini dengan pengarangnya yang mempunyai kafabilitas mumpuni dalam bidangnya. Ibnu Katsir ahli tafsir, tapi diakui juga sebagai muhaddits, sehingga dia sangat mengetahui sanad suatu hadits. Oleh karenanya, ia menyelaraskan suatu riwayat dengan naql yang shahih dan akal sehat. Serta menolak riwayat yang munkar dan riwayat yang dusta, yang tidak bisa dijadikan hujjah baik itu di dunuia ataupun di akhirat kelak.

Kelima, jika ada riwayat israiliyat Ia mendiskusikannya serta menjelaskan kepalsuannya, juga menyangkal kebohongannya dengan menggunakan konsep jarh wa ta’dil. Keenam, mengekspresikan manhaj al-salâfu al-shaleh dalam metode dan cara pandang, sebagaimana yang tertera dalam Qur`an dan Sunnah.[26]

D. Beberapa Catatan

Ibn Katsir, sebagaimana manusia biasa, tentunya tidak akan terlepas dari sifat lupa, maupun salah. Dari hasil penelitian, terdapat beberapa catatan yang mengungkapkan adanya kesamaran dalam karyanya. Sejauh ini, yang penulis ketahui, catatan tersebut adalah buah karya para peneliti ulama azhar, yang melakukan reseach terhadap karya-karya klasik. Hasil tahqiq turats yang di gencarkan oleh pihak universitas, setidaknya hal ini telah memberikan kontribusi yang berharga dalam menjaga warisan klasik.

Memang catatan yang ditujukan kepada tafsir ini tidak mengurangi keilmiahan dan nilai tafsir ini -insya allah-. Dalam hal ini, catatan tersebut di uraikan sebagai berikut;

1. Kesalahan dalam penyandaran. Contohnya, dalam tafsir surat Âli ‘Imrân:169. Ia menyebutkan riwayat Ahmad; tsana Abdul Samad, tsana Hamâd, tsana Tsabit, ‘an Anas marfû’an, “mâ min nafsin tamûtu laha…” al-hadits. Ibn katsir berkata, “tafarrada bihi muslim min tharîq Hamâd“. Hadits ini dikeluarkan oleh imam Muslim dari jalan Humed dan Qatadah dari Anas. Imam Muslim tidak mengeluarkan hadits ini dari Tsabit melalui jalur Anas. Sebenarnya yang meyendiri itu adalah riwayat Ahmad, “tafarrada bihi ahmad min tharîq Hamâd“.

2. Kesalahan dalam nama sahabat yang meriwayatkan hadits, atau penyandaran hadits kepada sahabat, padahal tidak terdapat hadits sahabat tersebut dalam bab ini. Seperti, tafsir surat yusûf:5. Dalam penafsiran surat ini, Ia mengungkapkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan sebagian Ahli Sunan dari Muawiyyah ibn Haydah al-Qusyayrî sesungguhnya dia berkata, Rasulullah bersabda, “al-Ru`ya ‘alâ rajuli thâ`ir mâ lam tu’bar…..“. Seperti inilah yang tertera dalam musnad Muawiyyah ibn Haydah yang diriwayatkan oleh imam Ahmad. Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan Ibn Majah serta yang lainnya meriwayatkan hadits dari Abi Rizin al-‘Uqayli. Padahal hadits ini tidak diriwayatkan dari Muawiyyah, melainkan dari Abi Rizin al-‘Uqayli.

3. Kesalahan dalam mata rantai sanad. Contoh, tafsir surat al-An’am:59 dari ibn Abi Hâtim dengan sanadnya kepada malik ibn Sa’îr, tsnâ al-A’mas, dari Yazid ibn Abi Ziyad dari Abdullah ibn al-Harits dia berkata, “mâ fî al-ardli min syajaratin….“. ibn Katsir berkata, seperti inilah ibn Jarir meriwayatkan (11/13308), Ziyad ibn Yahya al-Hasani Abu al-Khathab. Sementara dalam tafsir ibn katsir di dapati bahwa yang meriwayatkan itu, Ziyad ibn Abdullah al-Hasani abu al-Khatab. Ini jelas keliru, karena riwayat yang sebenarnya ialah Malik ibn Sa’ir melalui jalan Ziyad ibn Yahya al-Hasani abu al-Khatab dari Ziyad.

4. Kurang menyentuh dalam menyandarkan riwayat. Contoh, sebagaimana yang Ia ungkapkan dalam menafsirkan surat Âli ‘Imrân:180. Ia mengemukakan hadits, “lâ ya`ti al-rajulu mawlâhu fayas`aluhu…“. Ibn Katsir merasa cukup menyandarkan dalam periwayatannya kepada ibn Jarir dan Ibn Mardaweh. Padahal, hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad, Abu Dawud, Nasâ`i dan yang lainnya, yang lebih utama untuk di sandarkan.

5. Lupa dalam menukil beberapa perkataan ulama. Contonya, tafsir surat al-A’raf:8. Ia menyebutkan hadits riwayat imam Tirmidzi. Imam Tirmidzi mengomentari hadits ini dengan ungkapan, “rawâhu tirmidzi wa shahhahahu“. Padahal yang sebenarnya ialah, “rawahu tirmidzi wa qâla, hadza al-hadîts hasan gharîb“.[27]

D. Penutup

Ibn Katsir sebagai sosok ulama yang saleh telah meninggalkan karya yang sangat bermanfaat sekali. lontaran keilmuan yang ia lontarkan, merupakan gayung bersambut dari amanah yang telah diembankan kepada ummat. Itulah salah satu tanggung jawab yang ia kontribusikan kepada kita. Metode serta cara berpikirnya telah memperlihatkan dan mempersembahkan metode yang dijadikan standar dalam reseach, dan senantiasa dijadikaqn tolak ukur.

Tidak ada gading yang tak retak, begitulah sebuah adagium menghentakan kita. Begitu juga dengan rangkuman ringkas ini masih jauh dari kesempurnaan, apalagi dari sisi keilmiahan yang ideal. Tapi insya Allah walaupun sedikit, bagaikan kita melukis di atas batu. Ada satu kata dua kata yang bisa kita ambil untuk di jadikan hikmah dan ibrah dalam menjalani kehidupan ini. Akhirnya perangkum mohon maaf dari segala kekurangan dan ketidaktahuannya. Walâahu a’lam bish-shawâb.

Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kebimbangan dan keluh-kesah kesedihan. Dan aku berlindung dari kehinaan dan kemalasan. Dan aku berlindung dari sikap bahil dan kikir serta aku berlindung dari belitan utang dan kedaliman manusia.


[1] Makalah ini disampaikan dalam acara dwi mingguan, Bidang Taklim Forum Silaturahmi Persatuan Islam (fospi) Mesir. Acara ini bertepatan dengan hari, Senin 25 Agustus 2003, setelah beberapa hari di undur karena bentrok dengan jadwal acara yang lebih mengasyikan. Acara ini bertempat di markaz sederhana pinggiran kota Kairo.

[2] Sementara ini, perangkum masih mendiami tingkat 4 jurusan Hadits. Predikat Lc-nya harus terhambat, karena harus memperbaiki beberapa pelajaran yang dirasa kurang baik nilainya. Harapan doa dari rekan-rekan untuk menghadapi ujian gelombang kedua bulan Nopember nanti (padahal mah tashfiyyah) mendapatkan kemudahan dan kelancaran tanpa ada hambatan apapun (kaya jalan tol). Selain itu, perangkum masih dalam keadaan menyendiri juga, jika ada yang berminat bisa kontak ke fospi atau hubungi……..

[3] Ada beberapa versi dalam penyebutan lengkap nama beliau, sebagai perbandingan bisa dilihat juga dalam tafsir ibn katsir; Imanuddin Abul Fida: Isma’il bin Umar bin Katsir bin Dla`I bin Katsir al-Qursyi al-Damsyiqi al-Syafi’i.

[4] Tahun 700 H adalah pandapat yang paling kuat dan di topang dengan argument yang logis. Hal ini bisa kita cermati dalam ungkapan beliau, “bahwa ayahnya meninggal ketika ia berumur 3 tahun”. Pendapat inilah yang di anut oleh ibn Hajar dalam al-durur al-kâminah. Ada juga yang berpendapat bahwa ibn katsir lahir pada tahun 701 H. syeh abdurrazaq Hamzah yang berpendapat ini. Untuk lebih lanjut baca saja, al-Bâ’itsu al-hatsîts, tentang biografi beliau.

[5] Ibn katsir, Tafsîr al-qur`ân al-‘azhim li`ibni katsir, yang di tahqiq oleh Mushthafa as-sayyid Muhamad, Muhamad sayyid rasyad, Muhamada fashl al-‘ajami, Ali Ahmad Abdul Baqi. Hasan Abbas Quthb, vol I, Muasasah Qurtubah, Kairo, cet I, 2000, hal 10.

[6] Ibid. hal 11.

[7] Ibid. hal 11.

[8] Al-Jarh wa al-ta’dîl ialah disiplin ilmu yang membahas tentang cacat dan adilnya perawi dengan menggunakan istilah-istilah khusus dan tingkatan dalam istilah tersebut. Seperti. Awtsaq, atsbat al-nâs, atqan, tsiqat, tsabat, hujjag, hafizh, juga yang lainnya. Lapad ini ialah istilah bagi qaidah adil (ta’dil). Semenatra untuk jarh, akdzab, asyrar, dajjal, kadzdzab, matruk, dll. Untuk lebih jelas dan menggereget bias di kaji buku, ‘Ilm al-jarh wa al-ta’dîl qawâ’iduhu wa a`imatuhu, karya Prof. Dr. Abdul Muhdi bin Abdul Qadir Abdul Hadi.

[9] Ibn katsir. Op. cit. hal, 12

[10] Beliau adalah Ahmad bin Muhamad bin Hambal bin Halal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Annas bin Awf bin Qasithi, yang bersambung nasabnya kepada Ali bin Bakar bin Wa`il.

[11] Nama lengkapnya adalah, Ahamd bin Amr al-bushry.

[12] Ia adalah al-Hafizh Ahmad bin Ali bin al-Mutsanna al-Mûshali.

[13] Ia adalah Muhamad bin Ustman bin Abi Syaybah.

[14] Kitab yang enam itu ialah dua kitab, shahih bukhari, muslim. Sementara yang empat ialah kitab sunan yang empat, yaitu kitab sunan abu dawud, sunan tirmidzi, sunan nasa`I, dan sunan ibn majah. Karya mereka ini lebih berkenan dalam telinga kita dengan istilah al-kutub al-sittah.

[15] Abul fidâ al-hafizh bin katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, yang di tahkik oleh Dr. Ahmad abdul wahab faith, Vol I, dar al-Hadits, kairo, cet. VI, 2002, hal. 6.

[16] Ibn katsir. Op. cit. hal, 13.

[17] Ibid. Hal, 19.

[18] Ibid. Hal, 22.

[19] Ibid. Hal, 22.

[20] Hadits riwayat tirmidzi, nasa`I Abu Dawud. Imam Tirmidzi berkata, hadits ini hasan. Masih banyak lagi hadits yang lain yang menjadai sahid trhadap hadits ini.

[21] Oleh karenanya, para ulama tafsir memberikan dawabit dan kode etik khusus dalam memperbolehkan kategori penafsiran jenis ini.

[22] Pada dasarnya, Israiliyat ialah kisah, cerita, yang bersumber dari bani israil. (keturunan Nabi Ya’kub As). Kata ini mempunyai perluasan makna, seiring dengan berkembangnya waktu. Kalimat ini tidak terbatas pada orabf yahudi saja. Tapi juga kepada orang nashrani beserta konco-konconya. Ulama tafsir dan hadits menggunakan istilah ini karena banyak sekjali kisah-kisah yang bersunber darinya yang telah menggerogoti kemurnian ajaran islam. Makanya, istilah ini tidak hanya sebatas pemahaman dulu , tapi juga penggerogotan dan propaganda serta penyelewengan dalam tafsir dan hadits di era sekarang. Untuk lebih menenagkan hati, silahkan baca buku yang berjudul “ushûl al-dakhîl fî tafsîr ây al-tanzîl” karya Prof. Dr. Jamal Mushtafa Abdul Hamid Abdul Wahab al-Najar.

[23] Seperti hadits yang diriwayatkan oleh imam ahmad dari Abdullah bin tsabit, ketika umar bin khatab menyodorkan tawrat kepada nabi, seketika itu pula nabi marah dan berkata, demi Allah!!! Seandainya musa dijadikan nabi bagimu dan kamu mengikutiya, sementara kamu meninggalkanku, sesungguhnya kamu telah sesat. Juga hadits lain mengenai larangan bertanya kepada ahl kitab.

[24] Berbagai istilah Ia ungkapkan dalam menolak israiliyat ini, seperti, riwayat israiliyat itu bathil tidak sahih, ia tidak mengungkapkannya karena hawatir terlalu bertele-tele, tidak ada manfatnya, dan lain-lain. Untuk lebihj hjelas bias di lihat tafsir ibn katsir hal 29-31 vol I.

[25] Ibn katsir. Op. cit. hal, 32-52.

[26] Ibid. hal 1-7.

[27] Ibid. hal, 55-6-4

5 comments on “Ibn Katsir & Tafsir

  1. Ping-balik: QURANIY.ID » Ibn Katsir dan Tafsir

Tinggalkan komentar